بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan
merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa,
jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi
bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin
orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang
baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah
raja.
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang
pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan
dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan pertama
al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di
Madinah. Ia berkata,
رَجُلٌ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ
“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal
dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”
Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah.
Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya
kebahagiaan di akhirat.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.
Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin
Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari
al-Qurasyi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi
rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan
selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan
bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka
hidangan makana sudah ada di hadapannya.
Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang
mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya
tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.
Menyambut Hidayah Islam
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah, penyembah
berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya
di hatinya, sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan
mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang
hanya warisan nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan
menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang
lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit
tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah
pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia
menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.
Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala,
maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat
itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan
kenikmatan ini dimulai mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu
Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan
makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang
terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya.
Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan
dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia.
Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau
ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”.
Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak
hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara
fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan
penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa
yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas
kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya
berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia
dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya
sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia
mengalami penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang
biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan
sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga
mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan
tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan
siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai
memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah
teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia
alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
Peranan Mush’ab Dalam Islam
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.
Dalam
waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama
Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan
kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap
Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam
berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.
Wafatnya
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu
yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia
berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik
dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”.
(HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak
sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia
hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau
kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami
tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan
kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan
rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan
bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa Dunia ini
tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan
semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk
mendapatkan ridha Allah.
Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat
menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki
kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam
menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.
Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar